Tuesday 21 April 2015

EPIDEMIOLOGI KEBIDANAN HIV/AIDS

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndromeatau Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau : sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan Iain-lain).
Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena rumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan presemmal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut. Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri, virus, fungi, dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh unsur-unsur sistem kekebalan tubuh yang dirusak HIV. Infeksi oportunistik umum didapati pada penderita AIDS. HIV mempengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita kanker seperti sarkoma kaposi, kanker leher rahim,dan kanker sistem kekebalan yangdisebut limfoma.
Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam, berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan. Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis tempat hidup pasien.
Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae. Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan kelainan patologi secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1 (Zein, 2006).
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab AIDS. Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Ciri khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas dari nukleus. Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang lain (Brooks, 2005).
Sejak ditemukan tahun 1978, secara kumulatif jumlah kasus AIDS di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL RI jumlah kumulatif kasus AIDS sebagai berikut :
Jumlah HIV & AIDS yang dilaporkan 1 Januari s.d. 31 Desember 2013 adalah : HIV=  29,037, AIDS =  5,608
Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Menurut Golongan Umur
Kelompok Umur
Presentasi
< 15 tahun
2,65 %
15-19 tahun
3,05%
20-29 tahun
49,07%
30-39 tahun
30,14%
40-49 tahun
8,82%
50-59 tahun
2,65%
≥ 60 tahun
0,51%
Tidak diketahui
3,27%
Sumber : Ditjen PP & PL Kemenkes RI

Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Menurut Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
AIDS
Laki-laki
28,846
Perempuan
15,565
Tidak Diketahui
7,937
Jumlah
52,348
Sumber : Ditjen PP & PL Kemenkes RI



Jumlah Kumulatif Kasus AIDS Menurut Faktor Risiko
Faktor Risiko
AIDS
Heteroseksual
32,719
Homo-Biseksual
1,274
IDU
8,407
Transfusi Darah
123
Transfusi Perinatal
1,438
Tidak Diketahui
7,954
Sumber : Ditjen PP & PL Kemenkes RI

Jumlah Kumulatif Kasus HIV & AIDS Berdasarkan Provinsi
No
Propinsi
HIV
AIDS
1
Papua
14,087
10,116
2
Jawa Timur
16,235
8,725
3
DKI Jakarta
28,790
7,477
4
Jawa Barat
10,98
4,131
5
Bali
8,059
3,985
6
Jawa Tengah
6,963
3,339
7
Sulawesi Selatan
3,764
1,703
8
Kalimantan Barat
4,135
1,699
9
Sumatra Utara
7,967
1,301
10
Banten
3,179
1,042
11
Riau
1,733
992
12
Sumatra Barat
923
952
13
DI Yogyakarta
2,179
916
14
Sulawesi Utara
2,043
798
15
Nusa Tenggara Timur
1,581
496
16
Nusa Tenggara Barat
710
456
17
Maluku
1,187
437
18
Jambi
642
437
19
Lampung
939
423
20
Kepulauan Riau
3,902
382
21
Kalimantan Selatan
366
334
22
Kalimantan Timur
2,199
332
23
Sumatra Selatan
1,461
322
24
Bangka Belitung
429
303
25
Sulawesi Tenggara
226
212
26
Sulawesi Tengah
308
190
27
Papua Barat
2,344
187
28
Maluku Utara
206
165
29
NAD/Aceh
131
165
30
Bengkulu
236
160
31
Kalimantan Tengah
192
97
32
Gorontalo
51
68
33
Sulawesi Barat
33
6
Jumlah
127,416
52,384
Sumber : Ditjen PP & PL Kemenkes RI
Hal- hal yang mendorong penulis melakukan surveliens epidemiologi penyakit HIV/AIDS ini adalah meningkatnya jumlah kasus penyakit HIV/AIDS. Surveilens epidemiologi digunakan untuk menilai, memonitor, dan merencanakan program kesehatan pada umumnya terutama dalam kaitan kasus yang berhubungan dengan HIV/AIDS. Tiga kegiatan surveilens epidemiologi yaitu pengumpulan data secara sistematik,teratur, dan terus menerus, pengolahan dan analisa serta interpresi data menghasilkan suatu informasi, penyebaran hasil informasi tersebut kepada orang orang atau lembaga berkepentingan.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana gambaran epidemiologi penyakit HIV/AIDS?
2.      Bagaimana klasifikasi untuk epidemic HIV/AIDS?
3.      Apakah tujuan surveilans epidemiologi?
4.      Apa saja macam-macam surveilans epidemiologi?
C.    TUJUAN
1.      Untuk mengetahui gambaran epidemiologi penyakit HIV/AIDS
2.      Untuk mengetahui klasifikasi untuk epidemic HIV/AIDS
3.      Utuk mengetahui tujuan surveilans epidemiologi
4.      Untuk mengetahui macam-macam surveilans epidemiologi
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A.    HIV/AIDS
1.      Definisi HIV/AIDS
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik (Zein, 2006).
2.      Etiologi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab AIDS. Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Ciri khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas dari nukleus. Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang lain (Brooks, 2005).
3.      Mekanisme Penyakit (RAP)
a.       Tahap Pre Patogenesis
Tahap pre patogenesis tidak terjadi pada penyakit HIV AIDS. Hal ini karena penularan penyakit HIV terjadi secara langsung (kontak langsung dengan penderita). HIV dapat menular dari suatu satu manusia ke manusia lainnya melalui kontak cairan pada alat reproduksi, kontak darah (misalnya trafusi darah, kontak luka, dll), penggunaan jarum suntik secara bergantian dan kehamilan.
b.      Tahap Patogenesis
Pada fase ini virus akan menghancurkan sebagian besar atau keseluruhan sistem imun penderita dan penderita dapat dinyatakan positif mengidap AIDS. Gejala klinis pada orang dewasa ialah jika ditemukan dua dari tiga gejala utama dan satu dari lima gejala minor. Gejala utamanya antara lain demam berkepanjangan, penurunan berat badan lebih dari 10% dalam kurun waktu tiga bulan, dan diare kronis selama lebih dari satu bulan secara berulang-ulang maupun terus menerus.
Gejala minornya yaitu batuk kronis selama lebih dari 1 bulan, munculnya Herpes zoster secara berulang-ulang, infeksi pada mulut dan tenggorokan yang disebabkan oleh Candida albicans, bercak-bercak gatal di seluruh tubuh, serta pembengkakan kelenjar getah bening secara menetap di seluruh tubuh. Akibat rusaknya sistem kekebalan, penderita menjadi mudah terserang penyakit-penyakit yang disebut penyakit oportunitis. Penyakit yang biasa menyerang orang normal seperti flu, diare, gatal-gatal, dan lain-lain. Bisa menjadi penyakit yang mematikan di tubuh seorang penderita AIDS.
c.       Tahap Inkubasi
Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar virus HIV sampai dengan menunjukkan gejala-gejala AIDS. Waktu yang dibutuhkan rata-rata cukup lama dan dapat mencapai kurang lebih 12 tahun dan semasa inkubasi penderita tidak menunjukkan gejala-gejala sakit. Selama masa inkubasi ini penderita disebut penderita HIV. Pada fase ini terdapat masa dimana virus HIV tidak dapat tedeteksi dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV.
Selama masa inkubasi penderita HIV sudah berpotensi untuk menularkan virus HIV kepada orang lain dengan berbagai cara sesuai pola transmisi virus HIV. Mengingat masa inkubasi yang relatif lama, dan penderita HIV tidak menunjukkan gejala-gejala sakit, maka sangat besar kemungkinan penularan terjadi pada fase inkubasi ini.
d.      Tahap Penyakit Dini
Penderita mengalami demam selama 3 sampai 6 minggu tergantung daya tahan tubuh saat mendapat kontak virus HIV tersebut. Setelah kondisi membaik, orang yang terkena virus HIV akan tetap sehat dalam beberapa tahun dan perlahan kekebalan tubuhnya menurun/lemah hingga jatuh sakit karena serangan demam yang berulang. Satu cara untuk mendapat kepastian adalah dengan menjalani uji antibody HIV terutamanya jika seseorang merasa telah melakukan aktivitas yang beresiko terkena virus HIV.
e.       Tahap Penyakit Lanjut
Pada tahap ini penderita sudah tidak bias melakukan aktivitas apa-apa. Penderita mengalami nafas pendek, henti nafas sejenak, batuk serta nyeri dada. Penderita mengalami jamur pada rongga mulut dan kerongkongan. Terjadinya gangguan pada persyarafan central mengakibatkan kurang ingatan, sakit kepala, susah berkonsentrasi, sering tampak kebingungan dan respon anggota gerak melambat.
Pada sistem persyarafan ujung (peripheral) akan menimbulkan nyeri dan kesemutan pada telapak tangan dan kaki, reflek tendon yang kurang selalu mengalami tensi darah rendah dan impotent. Penderita mengalami serangan virus cacar air (herpes simplex) atau cacar api (herpes zoster) dan berbagai macam penyakit kulit yang menimbulkan rasa nyeri pada jaringan kulit. Lainnya adalah mengalami infeksi jaringan rambut pada kulit (folliculities), kulit kering berbercak-bercak.
f.       Tahap Post Patogenesis (Tahap Penyakit Akhir)
Fase ini merupakan fase terakhir dari perjalanan penyakit AIDS pada tubuh penderita. Fase akhir dari penderita penyakit AIDS adalah meninggal dunia.
4.      Mekanisme Penularan Penyakit
HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu (KPA, 2007). Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu : kontak seksual, kontak dengan darah atau sekret yang infeksius, ibu ke anak selama masa kehamilan, persalinan dan pemberian ASI (Air Susu Ibu) (Zein, 2006).
a.       Seksual
Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan dari semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi selama senggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Senggama berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal (anus), oral (mulut) antara dua individu. Resiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV.
b.      Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus HIV.
c.       Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk ke dalam tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti jarum tato atau pada pengguna narkotik suntik secara bergantian. Bisa juga terjadi ketika melakukan prosedur tindakan medik ataupun terjadi sebagai kecelakaan kerja (tidak sengaja) bagi petugas kesehatan.
d.      Melalui silet atau pisau, pencukur jenggot secara bergantian hendaknya dihindarkan karena dapat menularkan virus HIV kecuali benda-benda tersebut disterilkan sepenuhnya sebelum digunakan.
e.       Melalui transplantasi organ pengidap HIV.
f.       Penularan dari ibu ke anak.
g.      Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya saat ia dikandung, dilahirkan, dan sesudah lahir melalui ASI.
5.      Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak bervariasi dari asimtomatis sampai penyakit berat yang dinamakan AIDS. AIDS pada anak terutama terjadi pada umur muda karena sebagian besar (>80%) AIDS pada anak akibat transmisi vertikal dari ibu ke anak. Lima puluh persen kasus AIDS anak berumur < l tahun dan 82% berumur <3 tahun. Meskipun demikian ada juga bayi yang terinfeksi HIV secara vertikal belum memperlihatkan gejala AIDS pada umur 10 tahun.
Gejala klinis yang terlihat adalah akibat adanya infeksi oleh mikroorganisme yang ada di lingkungan anak. Oleh karena itu, manifestasinya pun berupa manifestasi nonspesifik berupa gagal tumbuh, berat badan menurun, anemia, panas berulang, limfadenopati, dan hepatosplenomegali. Gejala yang menjurus kemungkinan adanya infeksi HIV adalah adanya infeksi oportunistik, yaitu infeksi dengan kuman, parasit, jamur, atau protozoa yang lazimnya tidak memberikan penyakit pada anak normal. Karena adanya penurunan fungsi imun, terutama imunitas selular, maka anak akan menjadi sakit bila terpajan pada organisme tersebut, yang biasanya lebih lama, lebih berat serta sering berulang. Penyakit tersebut antara lain kandidiasis mulut yang dapat menyebar ke esofagus, radang paru karena Pneumocystis carinii, radang paru karena mikobakterium atipik, atau toksoplasmosis otak. Bila anak terserang Mycobacterium tuberculosis, penyakitnya akan berjalan berat dengan kelainan luas pada paru dan otak. Anak sering juga menderita diare berulang.
6.      Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
Program pencegahan penularan dan penyebaran HIV lebih dipusatkan pada pendidikan masyarakat mengenai cara-cara penularan HIV. Dengan demikian, masyarakat (terutama kelompok perilaku resiko tinggi) dapat mengubah kebiasaan hidup mereka sehingga tidak mudah terjangkit HIV. Dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menghindari HIV/AIDS adalah sebagai berikut :
a.       Membiasakan Diri dengan Perilaku Seks yang Sehat
Sebagian besar penularan HIV terjadi melalui hubungan seksual. Oleh karena itu, membiasakan diri dengan perilaku seks yang sehat dapat menjauhkan diri dari penularan HIV. Misalnya, dengan tidak berhubungan seks di luar nikah, tidak berganti-ganti pasangan, dan menggunakan pengaman (terutama pada kelompok perilaku beresiko tinggi) sewaktu melakukan aktivitas seksual.
b.      Menggunakan Jarum Suntik dan Alat-alat Medis yang Steril
Para tenaga medis hendaknya memperhatikan alat-alat kesehatan yang mereka gunakan. Jarum suntik yang digunakan harus terjamin sterilitasnya dan sebaiknya hanya sekali pakai. Jadi, setiap kali menyuntik pasien, seorang tenaga medis harus memakai jarum suntik yang haru. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah penularan HIV melalui jarum suntik. Selain itu, penggunaan sarung tangan lateks setiap kontak dengan cairan tubuh juga dapat memperkecil peluang penularan HIV.
c.       Menjauhi Segala Bentuk Penggunaan Narkoba
Para pangguna narkoba sangat rentan tertular HIV, terutama pengguna narkoba suntik. Fakta menunjukkan bahwa penyebaran HIV di kalangan pengguna narkoba suntik tiga sampai lima kali lebih cepat dibanding perilaku resiko lainnya.
d.      Tidak Terima Transfusi Darah dari Orang yang Mengidap HIV
Pemeriksaan medis yang ketat pada setiap transfusi darah dapat mencegah penularan HIV. Sebelum transfusi darah berlangsung, para ahli kesehatan sebaiknya melakukan tes HIV untuk memastikan bahwa darah yang akan didonorkan bebas dari HIV.
e.       Menganjurkan Wanita Pengidap HIV untuk Tidak Hamil
Meskipun hamil adalah hak setiap wanita, namun bagi wanita pengidap HIV dianjurkan untuk tidak hamil. Sebab, wanita hamil pengidap HIV dapat menularkan virus kepada janin yang dikandungnya. Jika ingin hamil, sebaiknya mereka selalu berkonsultasi.
Program penanggulangan HIV/AIDS yaitu lewat jalur pendidikan mempunyai arti yang sangat strategis karena besarnya populasi remaja di jalur sekolah dan secara politis kelompok ini adalah aset dan penerus bangsa. Salah satu kelompok sasaran remaja yang paling mudah dijangkau adalah remaja di lingkungan sekolah (closed community) (Muninjaya, 1998). Keimanan dan ketaqwaan yang lemah serta tertekannya jiwa menyebabkan remaja berusaha untuk melarikan diri dari kenyataan hidup dan ingin diterima dalam lingkungan atau kelompok tertentu. Oleh karena itu diperlukan peningkatan keimanan dan ketaqwaan melalui ajaran-ajaran agama. (BNN, 2009).
Sebagian masyarakat Indonesia menggangap bahwa seks masih merupakan hal yang tabu. Termasuk diantaranya dalam pembicaraan, pemberian informasi dan pendidikan seks. Akibatnya jalur informasi yang benar dan mendidik sulit dikembangkan (Zulaini, 2000).
Cara-cara mengurangi resiko penularan AIDS antara lain melalui seks aman yaitu dengan melakukan hubungan seks tanpa melakukan penetrasi penis ke dalam vagina, anus, ataupun mulut.
Dalam proses pencegahan terhadap semakin luasnya epidemic HIV/AIDS, semua elemen dari masyarakat bertanggung jawab terhadap proses pencegahan. Yang bertanggung jawab terhadap pencegahan persebaran HIV/AIDS adalah :
a.       Individu
Seseorang harus mengadopsi gaya hidup dan perilaku yang sehat dan mengurangi risiko penularan HIV. Orang terinfeksi HIV harus menjadi orang yang bertanggung jawab untuk menjamin bahwa mereka untuk seterusnya tidak akan menyebarkan virus ke orang lain.
b.      Keluarga
Keluarga harus mengadopsi nilai-nilai peningkatan kesehatan. Keluarga harus memberikan pemahaman dan rasa simpati serta perlindungan untuk menolong anggota keluarga yang divonis orang terinfeksi HIV dalam menghadapai situasi yang tidak normal dan memaksimalkan potensi kesehatan untuk mempertahankan diri dari infeksi yang lain.
c.       Masyarakat
Masyarakat harus menghindari sikap diskriminasi terhadap orang terinfeksi HIV dan meningkatkan suasana lingkungan yang mendukung dengan norma sosial yang bersifat melindungi. Masyarakat juga harus berusaha keras meminimalkan kemiskinan yang cenderung memperburuk situasi.
d.      Petugas kesehatan
Petugas kesehatan memiliki tanggung jawab ganda terhadap penyediaan perawatan dan konseling terhadap orang terinfeksi HIV. Mereka harus menyediakan tindakan pencegahan yang sesuai untuk mencegah penyebaran infeksi ke klien yang lain dan diri mereka sendiri.
e.       Media
Media masa memiliki peran yang dengan mudah dapat dijangkau oleh banyak pembaca dan murah dalam menyampaikan informasi tentang HIV/AIDS. Bersama media dalam bentuk lain, media masa bisa efektif menimbulkan kepedulian masyarakat tentang HIV/AIDS. Bagaimanapun, media masa harus bertanggung jawab dalam melaporkan informasi tentang HIV/AIDs, menghindari ketidakakuratan yang mana mungkin menghasilkan perbedaan persepsi dan membutuhkan klarifikasi.
f.       Ahli kesehatan dan LSM
Para ahli kesehatan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dapat membantu menyebarkan informasi yang benar tentang HIV/AIDS dengan melakukan proses pembelajaran di masyarakat. Dengan melibatkan masyarakat umum, LSM dapat menjadi penghubung antara ahli kesehatan dan masyarakat.
B.     SURVEILENS EPIDEMIOLOGI
Surveilens epidemiologi adalah salah stau strategi epidemiologi yang dilakukan dengan melakukan kegiatan secara rutin, terus menerus dan sistematis dalam mengumpulkan data, menganalisa data dan menginterpresikannya yang mungkin akan menghasilkan informasi yang biasa atau luar biasa dengan tujuan memantau, menilai, dan merencanakan pelayanan/program kesehatan.
Salah satu faktor yang berpengaruh dalam epdemiologi HIV di Indonesoa adalah variasi antar wilayah, baik dalam hal besarnya masalah maupun faktor-faktor yang berpengaruh. Epidemic HIV di Indonesia berapa pada kondisi epidemic terkonsentrasi. Klasifikasi untuk epidemic HIV/AIDS terdiri dari :
·         Rendah
Prevalensi HIV dalam suatu sub-populasi berisiko tertentu belum melebihi 50%.
·         Terkonsentrasi
Prevalensi HIV secara konsisten lebih dari 5% di sub-populasi berisiko tertentu dan prevalensi HIV di bawah 1% di populasi umum atau ibu hamil.
·         Meluas
Prevalensi HIV lebih dari 1% di populasi umum atau ibu hamil
(USAID, 2003)
1.      Surveilans Epidemiologis
Surveilans Kesehatan Masyarakat menurut Thacker dan Berkelman adalah pengumpulan, analisis, dan penafsiran data outcome-specific secara terus menerus dan sistematis untuk perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi upaya kesmas. Definisi system Surveilans Epidemiologi menurut Kepmenkes No 1116 tahun 2003 adalah tatanan prosedur penyelenggaraan surveilans epidemiologi yang terintegrasi antara unit-unit penyelenggara surveilans dengan laboratorium, sumber-sumber data, pusat penelitian, pusat kajian dan penyelenggara program kesehatan, meliputi tata hubungan surveilans epidemiologi antar wilayah kabupaten/kota, Propinsi dan Pusat.
2.      Tujuan Surveilans Epidemiologi
a.       Memprediksi dan mendeteksi dini Epidemi (Outbreak).
b.      Memonitor, mengevaluasi, dan memperbaiki program pencegahan dan pengendalian penyakit.
c.       Sebagai sumber informasi untuk penentuan prioritas, pengambilan kebijakan, perencanaan, implementasi, dan alokasi sumber daya kesehatan.
d.      Memonitoring kecenderungan penyakit Endemis dan mengestimasi dampak penyakit di masa mendatang.
e.       Mengidentifikasi kebutuhan riset dan investigasi lebih lanjut.
3.      Macam-macam Surveilans Epidemiologis
a.       Surveilans pasif
Merupakan pengumpulan data yang diperoleh dari laporan bulanan sarana pelayanan kesehatan di daerah. Dari data yang diperoleh, dapat diketahui distribusi geografis tentang berbagai penyakit menular, dan perubahan-perubahan yang terjadi serta kebutuhan tentang penelitian sebagai tindak lanjut.
b.      Surveilans aktif
Pengumpulan data yang dilakukan secara langsung untuk mempelajari penyakit tertentu dalam waktu yang relative singkat (seminggu sekali atau 2 minggu sekali) yang dilakukan oleh petugas kesehatan untuk mencatat ada atau tidaknya kasus baru penyakit tertentu. Pencatatan meliputi Variabel Demografis seperti umur, jenis kelamin, pekerjaan, sosial ekonomi, waktu timbulnya gejala, pola makanan, tempat kejadian yang berkaitan dengan penyakit tertentu dan pencatatan ini tetap dilakukan walaupun tidak ditemukan kasus baru.
Surveilans aktif dilakukan apabila :
1)      Ditemukan kasus baru.
2)      Penelitian tentang cara penyebaran yang baru suatu penyakit tertentu.
3)      Risiko tinggi terjadinya penyakit musiman.
4)      Penyakit tertentu yang timbul di daerah baru atau akan menimbulkan pengaruh pada kelompok penduduk tertentu atau penyakit dengan insidensi yang rendah mendadak terjadi peningkatan.
4.      Indikator
Indikator yang di gunakan adalah
a.       Proposi
b.      Case Fatality Rate
c.       Incidence Rate
5.      Tujuan Khusus
a.       Untuk mengetahui Angka Proporsi pada kasus HIV/AIDS Faktor Resiko.
b.      Untuk mengetahui Angka Incidence pada kasus HIV/AIDS menurut Kelompok Umur.
c.       Untuk mengetahui Angka Incidence pada kasus HIV/AIDS menurut Jenis Kelamin.
d.      Untuk mengetahui Angka Incidence pada kasus HIV/AIDS menurut Tempat Tinggal.
e.       Untuk mengetahui CFR pada kasus HIV/AIDS menurut kelompok Umur.
f.       Untuk mengetahui CFR pada kasus HIV/AIDS menurut golongaan Jenis Kelamin.
g.      Untuk mengetahui CFR pada kasus HIV/AIDS menurut Tempat Tinggal.

6.      Metode
a.       Populasi :
1)      Untuk tujuan khusus 1.1 sampai 1.2 populasinya adalah semua kasus HIV/AIDS.
2)      Untuk tujuan khusus 1.3 sd 1.5 populasinya adalah smua kasus HIV/AIDS.
3)      Untuk tujuan khusus 1.6 sd 18 populasinya adalah semua kasus HIV/AIDS.
b.      Penumpulan data
1)      Jenis data :  data primer dan data sekunder
2)      Sumber data : Ditjen PP & PL Kemenkes RI 2013
c.       Pengolahan dan analisis data
Dari data primer dan data sekunder yang telah di kumpulkan di analisis di interpretasikan sesuai tujuan khusus :
a.       Untuk mengetahui angka proporsi kasus HIV/AIDS
b.      Untuk mengetahui distribusi angka incidenci pada kasus HIV/AIDS menurut kelompok umur
c.       Untuk mengetahui angka incidenci kasus HIV/AIDS menurut jenis kelamin.
d.      Untuk mengetahui angka incidenci kasus HIV/AIDS menurut tempat tinggal.
e.       Untuk mengetahui CFR pada kasus HIV/AIDS menurut gol.umur
f.       Untuk mengetahui CFR pada kasus HIV/AIDS menurut jenis kelamin
g.      Untuk mengetahui CFR pada kasus HIV/AIDS menurut wilayah/tempat tinggal


BAB III
PENUTUP
1.      Klasifikasi untuk epidemic HIV/AIDS terdiri dari :
a.       Rendah
Prevalensi HIV dalam suatu sub-populasi berisiko tertentu belum melebihi 50%.
b.      Terkonsentrasi
Prevalensi HIV secara konsisten lebih dari 5% di sub-populasi berisiko tertentu dan prevalensi HIV di bawah 1% di populasi umum atau ibu hamil.
c.       Meluas
Prevalensi HIV lebih dari 1% di populasi umum atau ibu hamil
2.      Tujuan Surveilans Epidemiologi
a.       Memprediksi dan mendeteksi dini Epidemi (Outbreak).
b.      Memonitor, mengevaluasi, dan memperbaiki program pencegahan dan pengendalian penyakit.
c.       Sebagai sumber informasi untuk penentuan prioritas, pengambilan kebijakan, perencanaan, implementasi, dan alokasi sumber daya kesehatan.
d.      Memonitoring kecenderungan penyakit Endemis dan mengestimasi dampak penyakit di masa mendatang.
e.       Mengidentifikasi kebutuhan riset dan investigasi lebih lanjut.
3.      Macam-macam Surveilans Epidemiologis
a.       Surveilans pasif
Merupakan pengumpulan data yang diperoleh dari laporan bulanan sarana pelayanan kesehatan di daerah. Dari data yang diperoleh, dapat diketahui distribusi geografis tentang berbagai penyakit menular, dan perubahan-perubahan yang terjadi serta kebutuhan tentang penelitian sebagai tindak lanjut.
b.      Surveilans aktif
Pengumpulan data yang dilakukan secara langsung untuk mempelajari penyakit tertentu dalam waktu yang relative singkat (seminggu sekali atau 2 minggu sekali) yang dilakukan oleh petugas kesehatan untuk mencatat ada atau tidaknya kasus baru penyakit tertentu. Pencatatan meliputi Variabel Demografis seperti umur, jenis kelamin, pekerjaan, sosial ekonomi, waktu timbulnya gejala, pola makanan, tempat kejadian yang berkaitan dengan penyakit tertentu dan pencatatan ini tetap dilakukan walaupun tidak ditemukan kasus baru.



No comments:

Post a Comment