BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndromeatau Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah
sekumpulan gejala dan infeksi (atau : sindrom) yang
timbul karena rusaknya sistem
kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang
spesies lainnya (SIV,
FIV, dan Iain-lain).
Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang
memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena
rumor. Meskipun
penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah,
dengan cairan tubuh
yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan presemmal, dan air susu ibu.
Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak
lainnya dengan
cairan-cairan tubuh tersebut. Berbagai gejala AIDS umumnya tidak akan terjadi pada orang-orang yang
memiliki sistem kekebalan
tubuh yang baik. Kebanyakan kondisi tersebut akibat infeksi oleh bakteri, virus, fungi, dan parasit, yang biasanya dikendalikan oleh
unsur-unsur sistem kekebalan
tubuh yang dirusak HIV. Infeksi
oportunistik umum didapati pada penderita AIDS. HIV mempengaruhi hampir semua organ tubuh. Penderita AIDS juga berisiko lebih besar menderita
kanker seperti sarkoma kaposi, kanker leher rahim,dan kanker sistem kekebalan
yangdisebut limfoma.
Biasanya penderita AIDS memiliki
gejala infeksi
sistemik; seperti demam, berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah,
serta penurunan berat
badan. Infeksi oportunistik tertentu yang diderita pasien AIDS, juga tergantung pada tingkat kekerapan
terjadinya infeksi tersebut
di wilayah geografis tempat hidup pasien.
Virus HIV diklasifikasikan ke dalam
golongan lentivirus atau retroviridae. Virus ini secara material genetik adalah
virus RNA yang tergantung pada enzim reverse transcriptase untuk dapat
menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan kelainan patologi
secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2.
Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe
secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua grup tersebut, yang
paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia adalah grup
HIV-1 (Zein, 2006).
Human Immunodeficiency
Virus (HIV) dianggap
sebagai virus penyebab AIDS. Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota
subfamili lentivirinae. Ciri khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya
nukleoid yang berbentuk silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung 3
gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat
lebih dari 6 gen tambahan pengatur ekspresi virus yang penting dalam
patogenesis penyakit. Satu protein replikasi fase awal yaitu protein Tat,
berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi
transkripsional dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat efisien
untuk menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk
ekspresi protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip virus yang
terlepas dari nukleus. Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh makrofag,
yang dapat menginfeksi sel yang lain (Brooks, 2005).
Sejak
ditemukan tahun 1978, secara kumulatif jumlah kasus AIDS di Indonesia semakin meningkat
dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL RI jumlah kumulatif kasus AIDS sebagai
berikut :
Jumlah
HIV & AIDS yang dilaporkan 1 Januari s.d. 31 Desember 2013 adalah :
HIV= 29,037, AIDS = 5,608
Jumlah Kumulatif Kasus AIDS
Menurut Golongan Umur
Kelompok
Umur
|
Presentasi
|
<
15 tahun
|
2,65 %
|
15-19
tahun
|
3,05%
|
20-29
tahun
|
49,07%
|
30-39
tahun
|
30,14%
|
40-49
tahun
|
8,82%
|
50-59
tahun
|
2,65%
|
≥
60 tahun
|
0,51%
|
Tidak
diketahui
|
3,27%
|
Sumber : Ditjen PP & PL Kemenkes RI
Jumlah Kumulatif Kasus AIDS
Menurut Jenis Kelamin
Jenis
Kelamin
|
AIDS
|
Laki-laki
|
28,846
|
Perempuan
|
15,565
|
Tidak
Diketahui
|
7,937
|
Jumlah
|
52,348
|
Sumber : Ditjen PP & PL Kemenkes RI
Jumlah Kumulatif Kasus AIDS
Menurut Faktor Risiko
Faktor
Risiko
|
AIDS
|
Heteroseksual
|
32,719
|
Homo-Biseksual
|
1,274
|
IDU
|
8,407
|
Transfusi
Darah
|
123
|
Transfusi
Perinatal
|
1,438
|
Tidak
Diketahui
|
7,954
|
Sumber : Ditjen PP & PL Kemenkes RI
Jumlah Kumulatif
Kasus HIV & AIDS Berdasarkan Provinsi
No
|
Propinsi
|
HIV
|
AIDS
|
1
|
Papua
|
14,087
|
10,116
|
2
|
Jawa
Timur
|
16,235
|
8,725
|
3
|
DKI
Jakarta
|
28,790
|
7,477
|
4
|
Jawa
Barat
|
10,98
|
4,131
|
5
|
Bali
|
8,059
|
3,985
|
6
|
Jawa
Tengah
|
6,963
|
3,339
|
7
|
Sulawesi
Selatan
|
3,764
|
1,703
|
8
|
Kalimantan
Barat
|
4,135
|
1,699
|
9
|
Sumatra
Utara
|
7,967
|
1,301
|
10
|
Banten
|
3,179
|
1,042
|
11
|
Riau
|
1,733
|
992
|
12
|
Sumatra
Barat
|
923
|
952
|
13
|
DI
Yogyakarta
|
2,179
|
916
|
14
|
Sulawesi
Utara
|
2,043
|
798
|
15
|
Nusa
Tenggara Timur
|
1,581
|
496
|
16
|
Nusa
Tenggara Barat
|
710
|
456
|
17
|
Maluku
|
1,187
|
437
|
18
|
Jambi
|
642
|
437
|
19
|
Lampung
|
939
|
423
|
20
|
Kepulauan
Riau
|
3,902
|
382
|
21
|
Kalimantan
Selatan
|
366
|
334
|
22
|
Kalimantan
Timur
|
2,199
|
332
|
23
|
Sumatra
Selatan
|
1,461
|
322
|
24
|
Bangka
Belitung
|
429
|
303
|
25
|
Sulawesi
Tenggara
|
226
|
212
|
26
|
Sulawesi
Tengah
|
308
|
190
|
27
|
Papua
Barat
|
2,344
|
187
|
28
|
Maluku
Utara
|
206
|
165
|
29
|
NAD/Aceh
|
131
|
165
|
30
|
Bengkulu
|
236
|
160
|
31
|
Kalimantan
Tengah
|
192
|
97
|
32
|
Gorontalo
|
51
|
68
|
33
|
Sulawesi
Barat
|
33
|
6
|
Jumlah
|
127,416
|
52,384
|
Sumber : Ditjen PP & PL Kemenkes RI
Hal-
hal yang mendorong penulis melakukan surveliens epidemiologi penyakit HIV/AIDS
ini adalah meningkatnya jumlah kasus penyakit HIV/AIDS. Surveilens epidemiologi digunakan
untuk menilai, memonitor, dan merencanakan program kesehatan
pada umumnya terutama dalam kaitan kasus yang berhubungan dengan HIV/AIDS. Tiga kegiatan surveilens epidemiologi
yaitu pengumpulan
data secara sistematik,teratur, dan terus menerus, pengolahan dan analisa serta interpresi data menghasilkan suatu
informasi, penyebaran hasil informasi tersebut kepada orang orang atau lembaga
berkepentingan.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana gambaran epidemiologi penyakit
HIV/AIDS?
2.
Bagaimana klasifikasi untuk epidemic
HIV/AIDS?
3.
Apakah tujuan surveilans
epidemiologi?
4.
Apa saja macam-macam surveilans
epidemiologi?
C.
TUJUAN
1.
Untuk mengetahui gambaran epidemiologi penyakit
HIV/AIDS
2. Untuk
mengetahui klasifikasi untuk epidemic HIV/AIDS
3. Utuk
mengetahui tujuan surveilans epidemiologi
4.
Untuk mengetahui macam-macam
surveilans epidemiologi
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. HIV/AIDS
1.
Definisi
HIV/AIDS
AIDS adalah
singkatan dari Acquired Immuno Deficiency
Syndrome, yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya
kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai
kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan
penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga
akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006).
HIV adalah
jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media hidup.
Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi
tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai
infeksi baik akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini
yang dikenal dengan infeksi oportunistik (Zein, 2006).
2. Etiologi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus
penyebab AIDS. Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili
lentivirinae. Ciri khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid
yang berbentuk silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang
dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari
6 gen tambahan pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit.
Satu protein replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam
transaktivasi dimana produk gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional
dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk menentukan
virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi protein
struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas dari
nukleus. Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat
menginfeksi sel yang lain (Brooks, 2005).
3. Mekanisme Penyakit (RAP)
a. Tahap Pre Patogenesis
Tahap pre patogenesis tidak terjadi
pada penyakit HIV AIDS. Hal ini karena penularan penyakit HIV terjadi secara
langsung (kontak langsung dengan penderita). HIV dapat menular dari suatu satu
manusia ke manusia lainnya melalui kontak cairan pada alat reproduksi, kontak
darah (misalnya trafusi darah, kontak luka, dll), penggunaan jarum suntik
secara bergantian dan kehamilan.
b. Tahap Patogenesis
Pada fase ini virus akan
menghancurkan sebagian besar atau keseluruhan sistem imun penderita dan
penderita dapat dinyatakan positif mengidap AIDS. Gejala klinis pada orang
dewasa ialah jika ditemukan dua dari tiga gejala utama dan satu dari lima
gejala minor. Gejala utamanya antara lain demam berkepanjangan, penurunan berat
badan lebih dari 10% dalam kurun waktu tiga bulan, dan diare kronis selama
lebih dari satu bulan secara berulang-ulang maupun terus menerus.
Gejala minornya yaitu batuk kronis
selama lebih dari 1 bulan, munculnya Herpes zoster secara berulang-ulang,
infeksi pada mulut dan tenggorokan yang disebabkan oleh Candida albicans,
bercak-bercak gatal di seluruh tubuh, serta pembengkakan kelenjar getah bening
secara menetap di seluruh tubuh. Akibat rusaknya sistem kekebalan, penderita
menjadi mudah terserang penyakit-penyakit yang disebut penyakit oportunitis.
Penyakit yang biasa menyerang orang normal seperti flu, diare, gatal-gatal, dan
lain-lain. Bisa menjadi penyakit yang mematikan di tubuh seorang penderita
AIDS.
c. Tahap Inkubasi
Masa inkubasi adalah waktu yang
diperlukan sejak seseorang terpapar virus HIV sampai dengan menunjukkan
gejala-gejala AIDS. Waktu yang dibutuhkan rata-rata cukup lama dan dapat
mencapai kurang lebih 12 tahun dan semasa inkubasi penderita tidak menunjukkan
gejala-gejala sakit. Selama masa inkubasi ini penderita disebut penderita HIV.
Pada fase ini terdapat masa dimana virus HIV tidak dapat tedeteksi dengan
pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV.
Selama masa inkubasi penderita HIV
sudah berpotensi untuk menularkan virus HIV kepada orang lain dengan berbagai
cara sesuai pola transmisi virus HIV. Mengingat masa inkubasi yang relatif
lama, dan penderita HIV tidak menunjukkan gejala-gejala sakit, maka sangat
besar kemungkinan penularan terjadi pada fase inkubasi ini.
d. Tahap Penyakit Dini
Penderita mengalami demam selama 3
sampai 6 minggu tergantung daya tahan tubuh saat mendapat kontak virus HIV tersebut.
Setelah kondisi membaik, orang yang terkena virus HIV akan tetap sehat dalam
beberapa tahun dan perlahan kekebalan tubuhnya menurun/lemah hingga jatuh sakit
karena serangan demam yang berulang. Satu cara untuk mendapat kepastian adalah
dengan menjalani uji antibody HIV terutamanya jika seseorang merasa telah
melakukan aktivitas yang beresiko terkena virus HIV.
e. Tahap Penyakit Lanjut
Pada tahap ini penderita sudah tidak
bias melakukan aktivitas apa-apa. Penderita mengalami nafas pendek, henti nafas
sejenak, batuk serta nyeri dada. Penderita mengalami jamur pada rongga mulut
dan kerongkongan. Terjadinya gangguan pada persyarafan central mengakibatkan
kurang ingatan, sakit kepala, susah berkonsentrasi, sering tampak kebingungan
dan respon anggota gerak melambat.
Pada sistem persyarafan ujung
(peripheral) akan menimbulkan nyeri dan kesemutan pada telapak tangan dan kaki,
reflek tendon yang kurang selalu mengalami tensi darah rendah dan impotent.
Penderita mengalami serangan virus cacar air (herpes simplex) atau cacar api
(herpes zoster) dan berbagai macam penyakit kulit yang menimbulkan rasa nyeri
pada jaringan kulit. Lainnya adalah mengalami infeksi jaringan rambut pada
kulit (folliculities), kulit kering berbercak-bercak.
f. Tahap Post Patogenesis (Tahap Penyakit
Akhir)
Fase ini merupakan fase terakhir dari
perjalanan penyakit AIDS pada tubuh penderita. Fase akhir dari penderita
penyakit AIDS adalah meninggal dunia.
4. Mekanisme Penularan Penyakit
HIV berada
terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial mengandung HIV
adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu (KPA, 2007).
Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu : kontak seksual,
kontak dengan darah atau sekret yang infeksius, ibu ke anak selama masa
kehamilan, persalinan dan pemberian ASI (Air Susu Ibu) (Zein, 2006).
a. Seksual
Penularan melalui hubungan
heteroseksual adalah yang paling dominan dari semua cara penularan. Penularan
melalui hubungan seksual dapat terjadi selama senggama laki-laki dengan
perempuan atau laki-laki dengan laki-laki. Senggama berarti kontak seksual
dengan penetrasi vaginal, anal (anus), oral (mulut) antara dua individu. Resiko
tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu
yang terinfeksi HIV.
b. Melalui transfusi darah atau produk
darah yang sudah tercemar dengan virus HIV.
c. Melalui jarum suntik atau alat
kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk ke dalam tubuh yang terkontaminasi
dengan virus HIV, seperti jarum tato atau pada pengguna narkotik suntik secara
bergantian. Bisa juga terjadi ketika melakukan prosedur tindakan medik ataupun
terjadi sebagai kecelakaan kerja (tidak sengaja) bagi petugas kesehatan.
d. Melalui silet atau pisau, pencukur
jenggot secara bergantian hendaknya dihindarkan karena dapat menularkan virus
HIV kecuali benda-benda tersebut disterilkan sepenuhnya sebelum digunakan.
e. Melalui transplantasi organ pengidap
HIV.
f. Penularan dari ibu ke anak.
g. Kebanyakan infeksi HIV pada anak
didapat dari ibunya saat ia dikandung, dilahirkan, dan sesudah lahir melalui ASI.
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi
klinis infeksi HIV pada anak bervariasi dari asimtomatis sampai penyakit berat
yang dinamakan AIDS. AIDS pada anak terutama terjadi pada umur muda karena
sebagian besar (>80%) AIDS pada anak akibat transmisi vertikal dari ibu ke
anak. Lima puluh persen kasus AIDS anak berumur < l tahun dan 82% berumur
<3 tahun. Meskipun demikian ada juga bayi yang terinfeksi HIV secara
vertikal belum memperlihatkan gejala AIDS pada umur 10 tahun.
Gejala klinis
yang terlihat adalah akibat adanya infeksi oleh mikroorganisme yang ada di
lingkungan anak. Oleh karena itu, manifestasinya pun berupa manifestasi
nonspesifik berupa gagal tumbuh, berat badan menurun, anemia, panas berulang,
limfadenopati, dan hepatosplenomegali. Gejala yang menjurus kemungkinan adanya
infeksi HIV adalah adanya infeksi oportunistik, yaitu infeksi dengan kuman,
parasit, jamur, atau protozoa yang lazimnya tidak memberikan penyakit pada anak
normal. Karena adanya penurunan fungsi imun, terutama imunitas selular, maka
anak akan menjadi sakit bila terpajan pada organisme tersebut, yang biasanya
lebih lama, lebih berat serta sering berulang. Penyakit tersebut antara lain
kandidiasis mulut yang dapat menyebar ke esofagus, radang paru karena Pneumocystis
carinii, radang paru karena mikobakterium atipik, atau toksoplasmosis otak.
Bila anak terserang Mycobacterium tuberculosis, penyakitnya akan berjalan berat
dengan kelainan luas pada paru dan otak. Anak sering juga menderita diare
berulang.
6. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
Program
pencegahan penularan dan penyebaran HIV lebih dipusatkan pada pendidikan
masyarakat mengenai cara-cara penularan HIV. Dengan demikian, masyarakat
(terutama kelompok perilaku resiko tinggi) dapat mengubah kebiasaan hidup mereka
sehingga tidak mudah terjangkit HIV. Dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk
menghindari HIV/AIDS adalah sebagai berikut :
a. Membiasakan Diri dengan Perilaku Seks
yang Sehat
Sebagian besar penularan HIV terjadi
melalui hubungan seksual. Oleh karena itu, membiasakan diri dengan perilaku
seks yang sehat dapat menjauhkan diri dari penularan HIV. Misalnya, dengan
tidak berhubungan seks di luar nikah, tidak berganti-ganti pasangan, dan
menggunakan pengaman (terutama pada kelompok perilaku beresiko tinggi) sewaktu
melakukan aktivitas seksual.
b. Menggunakan Jarum Suntik dan
Alat-alat Medis yang Steril
Para tenaga medis hendaknya
memperhatikan alat-alat kesehatan yang mereka gunakan. Jarum suntik yang
digunakan harus terjamin sterilitasnya dan sebaiknya hanya sekali pakai. Jadi,
setiap kali menyuntik pasien, seorang tenaga medis harus memakai jarum suntik
yang haru. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah penularan HIV melalui jarum
suntik. Selain itu, penggunaan sarung tangan lateks setiap kontak dengan cairan
tubuh juga dapat memperkecil peluang penularan HIV.
c. Menjauhi Segala Bentuk Penggunaan
Narkoba
Para pangguna narkoba sangat rentan
tertular HIV, terutama pengguna narkoba suntik. Fakta menunjukkan bahwa
penyebaran HIV di kalangan pengguna narkoba suntik tiga sampai lima kali lebih
cepat dibanding perilaku resiko lainnya.
d. Tidak Terima Transfusi Darah dari
Orang yang Mengidap HIV
Pemeriksaan medis yang ketat pada
setiap transfusi darah dapat mencegah penularan HIV. Sebelum transfusi darah
berlangsung, para ahli kesehatan sebaiknya melakukan tes HIV untuk memastikan
bahwa darah yang akan didonorkan bebas dari HIV.
e. Menganjurkan Wanita Pengidap HIV
untuk Tidak Hamil
Meskipun hamil adalah hak setiap
wanita, namun bagi wanita pengidap HIV dianjurkan untuk tidak hamil. Sebab,
wanita hamil pengidap HIV dapat menularkan virus kepada janin yang
dikandungnya. Jika ingin hamil, sebaiknya mereka selalu berkonsultasi.
Program
penanggulangan HIV/AIDS yaitu lewat jalur pendidikan mempunyai arti yang sangat
strategis karena besarnya populasi remaja di jalur sekolah dan secara politis
kelompok ini adalah aset dan penerus bangsa. Salah satu kelompok sasaran remaja
yang paling mudah dijangkau adalah remaja di lingkungan sekolah (closed
community) (Muninjaya, 1998). Keimanan dan ketaqwaan yang lemah serta tertekannya jiwa menyebabkan
remaja berusaha untuk melarikan diri dari kenyataan hidup dan ingin diterima
dalam lingkungan atau kelompok tertentu. Oleh karena itu diperlukan peningkatan
keimanan dan ketaqwaan melalui ajaran-ajaran agama. (BNN, 2009).
Sebagian
masyarakat Indonesia menggangap bahwa seks masih merupakan hal yang tabu.
Termasuk diantaranya dalam pembicaraan, pemberian informasi dan pendidikan
seks. Akibatnya jalur informasi yang benar dan mendidik sulit dikembangkan
(Zulaini, 2000).
Cara-cara
mengurangi resiko penularan AIDS antara lain melalui seks aman yaitu dengan
melakukan hubungan seks tanpa melakukan penetrasi penis ke dalam vagina, anus,
ataupun mulut.
Dalam proses pencegahan terhadap semakin luasnya
epidemic HIV/AIDS, semua elemen dari masyarakat bertanggung jawab terhadap
proses pencegahan. Yang bertanggung jawab terhadap pencegahan persebaran
HIV/AIDS adalah :
a.
Individu
Seseorang harus mengadopsi
gaya hidup dan perilaku yang sehat dan mengurangi risiko penularan HIV. Orang
terinfeksi HIV harus menjadi orang yang bertanggung jawab untuk menjamin bahwa
mereka untuk seterusnya tidak akan menyebarkan virus ke orang lain.
b.
Keluarga
Keluarga harus mengadopsi nilai-nilai
peningkatan kesehatan. Keluarga harus memberikan pemahaman dan rasa simpati
serta perlindungan untuk menolong anggota keluarga yang divonis orang
terinfeksi HIV dalam menghadapai situasi yang tidak normal dan memaksimalkan
potensi kesehatan untuk mempertahankan diri dari infeksi yang lain.
c.
Masyarakat
Masyarakat harus menghindari
sikap diskriminasi terhadap orang terinfeksi HIV dan meningkatkan suasana
lingkungan yang mendukung dengan norma sosial yang bersifat melindungi.
Masyarakat juga harus berusaha keras meminimalkan kemiskinan yang cenderung
memperburuk situasi.
d.
Petugas kesehatan
Petugas kesehatan memiliki
tanggung jawab ganda terhadap penyediaan perawatan dan konseling terhadap orang
terinfeksi HIV. Mereka harus menyediakan tindakan pencegahan yang sesuai untuk
mencegah penyebaran infeksi ke klien yang lain dan diri mereka sendiri.
e.
Media
Media masa memiliki peran yang
dengan mudah dapat dijangkau oleh banyak pembaca dan murah dalam menyampaikan
informasi tentang HIV/AIDS. Bersama media dalam bentuk lain, media masa bisa
efektif menimbulkan kepedulian masyarakat tentang HIV/AIDS. Bagaimanapun, media
masa harus bertanggung jawab dalam melaporkan informasi tentang HIV/AIDs,
menghindari ketidakakuratan yang mana mungkin menghasilkan perbedaan persepsi
dan membutuhkan klarifikasi.
f.
Ahli kesehatan dan LSM
Para ahli kesehatan dan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dapat membantu menyebarkan informasi yang
benar tentang HIV/AIDS dengan melakukan proses pembelajaran di masyarakat. Dengan
melibatkan masyarakat umum, LSM dapat menjadi penghubung antara ahli kesehatan
dan masyarakat.
B. SURVEILENS EPIDEMIOLOGI
Surveilens epidemiologi adalah salah
stau strategi epidemiologi yang dilakukan dengan melakukan kegiatan secara
rutin, terus menerus dan sistematis dalam mengumpulkan data, menganalisa data
dan menginterpresikannya yang mungkin akan menghasilkan informasi yang biasa
atau luar biasa dengan tujuan memantau, menilai, dan merencanakan pelayanan/program
kesehatan.
Salah satu
faktor yang berpengaruh dalam epdemiologi HIV di Indonesoa adalah variasi antar
wilayah, baik dalam hal besarnya masalah maupun faktor-faktor yang berpengaruh.
Epidemic HIV di Indonesia berapa pada kondisi epidemic terkonsentrasi.
Klasifikasi untuk epidemic HIV/AIDS terdiri dari :
·
Rendah
Prevalensi
HIV dalam suatu sub-populasi berisiko tertentu belum melebihi 50%.
·
Terkonsentrasi
Prevalensi
HIV secara konsisten lebih dari 5% di sub-populasi berisiko tertentu dan
prevalensi HIV di bawah 1% di populasi umum atau ibu hamil.
·
Meluas
Prevalensi
HIV lebih dari 1% di populasi umum atau ibu hamil
(USAID,
2003)
1.
Surveilans Epidemiologis
Surveilans Kesehatan Masyarakat menurut Thacker dan
Berkelman adalah pengumpulan, analisis, dan penafsiran data outcome-specific
secara terus menerus dan sistematis untuk perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi upaya kesmas. Definisi system Surveilans Epidemiologi menurut
Kepmenkes No 1116 tahun 2003 adalah tatanan prosedur penyelenggaraan surveilans
epidemiologi yang terintegrasi antara unit-unit penyelenggara surveilans dengan
laboratorium, sumber-sumber data, pusat penelitian, pusat kajian dan
penyelenggara program kesehatan, meliputi tata hubungan surveilans epidemiologi
antar wilayah kabupaten/kota, Propinsi dan Pusat.
2.
Tujuan Surveilans Epidemiologi
a. Memprediksi
dan mendeteksi dini Epidemi (Outbreak).
b. Memonitor,
mengevaluasi, dan memperbaiki program pencegahan dan pengendalian penyakit.
c. Sebagai
sumber informasi untuk penentuan prioritas, pengambilan kebijakan, perencanaan,
implementasi, dan alokasi sumber daya kesehatan.
d. Memonitoring
kecenderungan penyakit Endemis dan mengestimasi dampak penyakit di masa
mendatang.
e. Mengidentifikasi
kebutuhan riset dan investigasi lebih lanjut.
3.
Macam-macam Surveilans Epidemiologis
a. Surveilans
pasif
Merupakan
pengumpulan data yang diperoleh dari laporan bulanan sarana pelayanan kesehatan
di daerah. Dari data yang diperoleh, dapat diketahui distribusi geografis
tentang berbagai penyakit menular, dan perubahan-perubahan yang terjadi serta
kebutuhan tentang penelitian sebagai tindak lanjut.
b. Surveilans
aktif
Pengumpulan
data yang dilakukan secara langsung untuk mempelajari penyakit tertentu dalam
waktu yang relative singkat (seminggu sekali atau 2 minggu sekali) yang
dilakukan oleh petugas kesehatan untuk mencatat ada atau tidaknya kasus baru
penyakit tertentu. Pencatatan meliputi Variabel Demografis seperti umur, jenis
kelamin, pekerjaan, sosial ekonomi, waktu timbulnya gejala, pola makanan,
tempat kejadian yang berkaitan dengan penyakit tertentu dan pencatatan ini
tetap dilakukan walaupun tidak ditemukan kasus baru.
Surveilans
aktif dilakukan apabila :
1)
Ditemukan kasus baru.
2)
Penelitian tentang cara penyebaran
yang baru suatu penyakit tertentu.
3)
Risiko tinggi terjadinya penyakit
musiman.
4)
Penyakit tertentu yang timbul di
daerah baru atau akan menimbulkan pengaruh pada kelompok penduduk tertentu atau
penyakit dengan insidensi yang rendah mendadak terjadi peningkatan.
4.
Indikator
Indikator yang di gunakan adalah
a. Proposi
b. Case Fatality Rate
c. Incidence Rate
5.
Tujuan
Khusus
a. Untuk mengetahui Angka Proporsi pada kasus HIV/AIDS Faktor Resiko.
b. Untuk mengetahui Angka Incidence pada kasus HIV/AIDS menurut Kelompok
Umur.
c. Untuk mengetahui Angka Incidence pada kasus HIV/AIDS menurut Jenis
Kelamin.
d. Untuk mengetahui Angka Incidence pada kasus HIV/AIDS menurut Tempat
Tinggal.
e. Untuk mengetahui CFR pada kasus
HIV/AIDS menurut kelompok Umur.
f. Untuk mengetahui CFR pada kasus
HIV/AIDS menurut golongaan Jenis Kelamin.
g. Untuk mengetahui CFR pada kasus
HIV/AIDS menurut Tempat Tinggal.
6.
Metode
a. Populasi :
1) Untuk tujuan khusus 1.1 sampai 1.2
populasinya adalah semua kasus HIV/AIDS.
2) Untuk tujuan khusus 1.3 sd 1.5
populasinya adalah smua kasus HIV/AIDS.
3) Untuk tujuan khusus 1.6 sd 18
populasinya adalah semua kasus HIV/AIDS.
b. Penumpulan data
1) Jenis data : data primer dan data sekunder
2) Sumber data : Ditjen PP & PL
Kemenkes RI 2013
c. Pengolahan dan analisis data
Dari data primer dan data sekunder
yang telah di kumpulkan di analisis di interpretasikan sesuai tujuan khusus :
a.
Untuk
mengetahui angka proporsi kasus HIV/AIDS
b.
Untuk
mengetahui distribusi angka incidenci pada kasus HIV/AIDS menurut kelompok umur
c.
Untuk
mengetahui angka incidenci kasus HIV/AIDS menurut jenis kelamin.
d.
Untuk
mengetahui angka incidenci kasus HIV/AIDS menurut tempat tinggal.
e.
Untuk
mengetahui CFR pada kasus HIV/AIDS menurut gol.umur
f.
Untuk
mengetahui CFR pada kasus HIV/AIDS menurut jenis kelamin
g.
Untuk
mengetahui CFR pada kasus HIV/AIDS menurut wilayah/tempat tinggal
BAB III
PENUTUP
1.
Klasifikasi untuk epidemic HIV/AIDS
terdiri dari :
a.
Rendah
Prevalensi
HIV dalam suatu sub-populasi berisiko tertentu belum melebihi 50%.
b.
Terkonsentrasi
Prevalensi
HIV secara konsisten lebih dari 5% di sub-populasi berisiko tertentu dan
prevalensi HIV di bawah 1% di populasi umum atau ibu hamil.
c.
Meluas
Prevalensi
HIV lebih dari 1% di populasi umum atau ibu hamil
2. Tujuan
Surveilans Epidemiologi
a. Memprediksi
dan mendeteksi dini Epidemi (Outbreak).
b.
Memonitor, mengevaluasi, dan
memperbaiki program pencegahan dan pengendalian penyakit.
c.
Sebagai sumber informasi untuk
penentuan prioritas, pengambilan kebijakan, perencanaan, implementasi, dan
alokasi sumber daya kesehatan.
d.
Memonitoring kecenderungan penyakit
Endemis dan mengestimasi dampak penyakit di masa mendatang.
e.
Mengidentifikasi kebutuhan riset dan
investigasi lebih lanjut.
3. Macam-macam
Surveilans Epidemiologis
Merupakan pengumpulan data yang diperoleh dari laporan
bulanan sarana pelayanan kesehatan di daerah. Dari data yang diperoleh, dapat
diketahui distribusi geografis tentang berbagai penyakit menular, dan
perubahan-perubahan yang terjadi serta kebutuhan tentang penelitian sebagai
tindak lanjut.
b. Surveilans
aktif
Pengumpulan data yang dilakukan secara langsung untuk
mempelajari penyakit tertentu dalam waktu yang relative singkat (seminggu
sekali atau 2 minggu sekali) yang dilakukan oleh petugas kesehatan untuk
mencatat ada atau tidaknya kasus baru penyakit tertentu. Pencatatan meliputi
Variabel Demografis seperti umur, jenis kelamin, pekerjaan, sosial ekonomi,
waktu timbulnya gejala, pola makanan, tempat kejadian yang berkaitan dengan
penyakit tertentu dan pencatatan ini tetap dilakukan walaupun tidak ditemukan
kasus baru.
No comments:
Post a Comment